Jumat, 30 Oktober 2009

Akhirat Lebih Utama






Allah SWT berfirman yang artinya, "Katakanlah, 'Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu? Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rab mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan, (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan, serta keridaan Allah. Dan, Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (Ali Imran: 15)

Ayat sebelumnya menerangkan tentang apa-apa yang dijadikan indah di mata manusia. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)."

Sudah menjadi sifat manusia bahwa mereka mencintai wanita, membangga-banggakan anaknya, ingin harta kekayaan yang melimpah. Hal itu memang yang telah dijadikan oleh Allah tampak indah di mata manusia, sehingga mereka berusaha untuk meraihnya. Selain itu, manusia juga akan selalu berambisi untuk memiliki pangkat dan kedudukan yang tinggi.

Memang dunia dan nafsu merupakan kerabat dekat yang keduanya sama-sama seperti bayang-bayang. Nafsu sering diibaratkan dengan air laut, yang apabila diminum tidak menghilangkan dahaga tetapi hanya akan menambah haus. Jadi, tidak akan puas manusia memperturutkan hawa nafsunya. Sedangkan dunia tak ubahnya bagaikan fatamorgana.

Orang yang hanya mementingkan kehidupan dunia akan sangat merugi dan menyesal. Karena, ia merasa memiliki kebaikan yang banyak tetapi pada hakikatnya semu belaka. Ibarat orang yang berjalan di padang pasir saat panas terik yang teramat sangat. Waktu itu dia merasakan haus yang tiada tara, kemudian di kejauhan dia melihat seperti ada air yang banyak sekali. Lalu ia berusaha untuk mendekati dan mencapainya. Ia acap kali berusaha mendapatkannya tetapi tidak pernah bisa menyentuhnya. Semakin jauh dia mengejarnya, semakin jauh pula apa yang hendak didapatnya. Itulah fatamorgana. Ini sama dengan amalan orang-orang kafir yang oleh Allah diibaratkan bagaikan fatamorgana.

Pada ayat di atas, yang pertama kali disebutkan oleh Allah dari kecintaan manusia adalah wanita, karena wanita termasuk fitnah yang sangat berat. Rasulullah saw. bersabda, "Aku tidak meninggalkan suatu fitnah yang lebih bahaya bagi kaum laki-laki dari pada wanita."

Rasulullah saw. sendiri termasuk orang yang mencintai wanita. Beliau bersabda, "Dijadikan aku menyukai wanita dan wangi-wangian. Dan, dijadikan kesejukan mata hatiku di dalam shalat." (HR An-Nasai dan Hakim).

Setelah itu disebutkan kecintaan kepada anak-anak dan harta benda mulai dari emas, perak, kuda, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.

DUNIA DAN AKHIRAT


Kaum Muslimin rahimakumullah.Allah SWT membagi kehidupan menjadi dua bagian yakni kehidupan dunia dan akhirat. Apa yg dilakukan manusia di dunia akan berdampak dalam kehidupan akhirat enak dan tidaknya kehidupan seseorang di akhirat sangat bergantung pada bagaimana ia menjalani kehidupan di dunia ini. Manakala manusia beriman dan beramal saleh dalam kehidupan di dunia ia pun akan mendapatkan keni’matan dalam kehidupan di akhirat. Karena itu ketika seseorang berorientasi memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan di akhirat maka ia akan menjalani kehidupan di dunia ini dgn sebaik-baiknya sebagaimana yg ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketika manusia berorientasi kepada kehidupan akhirat bukan berarti ia tidak boleh meni’mati kehidupan di dunia ini hal ini krn segala hal-hal yg bersifat duniawi sangat disukai oleh manusia karenanya Islam tidak pernah mengharamkan manusia utk meni’mati kehidupan duniawinya selama tidak melanggar ketentuan Allah SWT apalagi sampai melupakan Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur dalam hidup ini. Manusia memang memandang indah segala hal yg bersifat duniawi dan itu wajar-wajar saja selama ia tidak mengabaikan tempat kembalinya. Allah SWT berfirman yg artinya “Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yg diingini yaitu wanita-wanita anak-anak harta yg banyak dari jenis emas perak kuda pilihan binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yg baik .” Hakikat Keindahan Muhammad Ali ash-Shabuny di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa yg menjadikan syahwat itu sebagai sesuatu yg indah. Pendapat pertama mengatakan bahwa yg menjadikan indah adl setan dgn cara membisikkan kepada manusia dan menjadikannya tampak indah di hadapan mereka lalu mereka condong kepada syahwat itu dan lalai dalam menaati Allah SWT pendapat ini didasari pada firman Allah yg artinya “Dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari Allah sehingga mereka tidak mendapat petunjuk.” Pendapat kedua mengatakan bahwa Allah-lah yg menjadikan indah terhadap syahwat sebagai ujian dan cobaan utk menentukan siapa di antara mereka yg baik perbuatannya hal ini didasari pada firman Allah yg artinya “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yg ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yg terbaik perbuatannya.” Dua pendapat yg nampak bertolak belakang itu sebenarnya bukan sesuatu yg bertolak belakang. Allah SWT dan setan sama-sama memiliki “kepentingan” dalam kaitan dgn syahwat manusia terhadap hal-hal yg sifatnya duniawi. Allah SWT ingin menguji manusia agar mereka dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT sedangkan setan justeru ingin menjerumuskan manusia ke jalan yg sesat. Oleh krn itu ketika menafsirkan kalimat “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yg diingini” Sayyid Quthb dalam Fi Dzilalil Qur’an mengatakan “Ungkapan kalimat ini tidak memiliki konotasi utk menganggapnya kotor dan tidak disukai. Tetapi ia hanya semata-mata menunjukkan tabiat dan dorongan-dorongannya menempatkannya pada tempat tanpa melewati batas serta tidak mengalahkan apa yg lbh mulia dan lbh tinggi dalam kehidupan serta mengajaknya utk memandang ke ufuk lain setelah menunjukkan vitalnya apa-apa yg diingini itu dgn tanpa tenggelam dan semata-mata bergelimang di dalamnya. Di sinilah keistimewaan Islam dgn memelihara fitrah manusia dan menerima kenyataannya serta berusaha mendidik merawat dan meninggikannya bukan membekukan dan mematikannya. Kaum Muslimin sidang Jumat yg berbahagia.Sebagian kalangan sufi menganggap bahwa syahwat merupakan sesuatu yg tercela karenanya harus dijauhi sehingga mereka cenderung meninggalkan dunia. Padahal bagi seorang muslim bukan tidak boleh memiliki dan meni’mati kehidupan dunia ini yg penting adl jangan sampai kehidupan dunia membuat manusia menjadi lupa dan lalai krn hal itu hanya akan membawa pada kerugian tidak hanya di dunia ini tapi juga di akhirat nanti. Allah SWT berfirman yg artinya “Hai orang-orang yg beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yg berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yg rugi.” Kita memang harus mengakui bahwa syahwat itu bisa positif tapi bisa juga negatif. Kekhawatiran kita kepada hal-hal yg negatif mestinya tidak sampai kita mengharamkannya di sinilah letak pentingnya kesalehan manusia krn bila segala keni’matan duniawi itu ada di tangan orang yg saleh maka keni’matan itu akan memberikan keni’matan yg lbh besar lagi ni’mal maalu ash shalih rajulun shaleh. Akan tetapi apabila suatu keni’matan berada di tangan orang yg fasik hal itu akan sangat membahayakan tidak hanya membahayakan dirinya tapi juga membahayakan orang lain. Kehidupan akhirat memang lbh baik tapi bukan berarti kehidupan dunia ini jelek dan harus dicampakkan karenanya di dalam surat Ali Imran ayat 15 Allah SWT mengemukakan bahwa ada yg lbh baik dari kesenangan-kesenangan duniawi ayat tersebut artinya “Katakanlah ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yg lbh baik dari yg demikian itu?’ Untuk orang-orang yg bertakwa pada sisi Tuhan mereka ada surga yg mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan isteri-isteri yg disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” Disamping itu Allah SWT juga menegaskan tentang tidak haramnya meni’mati hal-hal yg bersifat duniawi sebagaimana dalam firman-Nya yg artinya “Katakanlah ‘Siapakah yg mengharamkan perhiasan dari Allah yg telah dikeluarkan-Nya utk hamba-hamba-Nya dan rezeki yg baik?’ Katakanlah ’semuanya itu disediakan bagi orang-orang yg beriman dalam kehidupan dunia khusus di akhirat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yg mengetahui.” Kaum Muslimin rahimakumullah.Dari penjelasan di atas bisa kita simpulkan bagaimana sikap yg harus kita tunjukkan kepada dunia. Paling tidak ada sikap positif yg harus kita miliki dalam memandang kehidupan dunia. Pertama capai segala keni’matan dunia dgn cara-cara yg baik dan halal bukan dgn menghalalkan segala cara dalam memperolehnya. Bahkan seandainya utk mendapatkan keni’matan itu harus dikejar sampai ke ujung dunia maka hal itu tidak menjadi masalah krn Allah SWT memang memerintahkan kepada manusia utk mencari karunia-Nya di muka bumi yg amat luas hal ini terdapat dalam firman-Nya “Apabila telah ditunaikan salat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Kedua gunakan apa-apa yg sudah kita peroleh dgn cara yg baik dan utk kebaikan bukan malah utk hal-hal yg bisa mendatangkan kerusakan baik kerusakan diri sendiri orang lain maupun kerusakan lingkungan hidup tempat kita menjalani kehidupan ini Allah SWT berfirman yg artinya “Dan carilah apa-apa yg telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yg berbuat kerusakan.” Ketiga jangan sampai lupa kepada Allah SWT dalam meni’mati hal-hal yg bersifat duniawi tetapi hendaknya tetap bersyukur dan beribadah kepada Allah SWT bila itu yg dilakukan maka keni’matan duniawi itu akan terasa sedemikian banyak rasa dan manfaatnya meskipun jumlahnya sedikit. Allah SWT berfirman yg artinya “Dan tatkala Tuhanmu memaklumkan ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah kepadamu dan jika kamu mengingkari maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Dengan demikian apa pun yg kita raih dan kita ni’mati dalam kehidupan di dunia ini semua adl dalam kerangka membekali diri kita utk kembali kepada Allah SWT dgn amal saleh yg sebanyak-banyak dan ketakwaan yg setinggi-tingginya. Oleh Drs. H. Ahmad Yani Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Isl

Dampak psikologis meremehkan kehidupan akhirat



Banyak di antara kaum Muslimîn dewasa ini yang beranggapan, bahwa berfikir tentang kehidupan akhirat serta cita-cita dan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkannya, sebagai suatu kemunduran di abad 21 ini. Bahkan banyak juga di antara mereka yang mengganggap remeh persoalan akhirat.

Sikap dan pandangan semacam ini timbul akibat kebodohan dan kepicikan mereka terhadap hakikat ajaran Islâm, dan juga kecintaan yang berlebihan terhadap keduniaan atau kebendaan (materi), sehingga cita-cita atau keinginan mereka hanya terpaut pada kehidupan atau kesenangan dunia semata, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh Abûl-Hasan An-Nadawî (rahimahullâh) :

“Penyakit terparah yang sedang diderita Dunia Islâm dewasa ini ialah merasa tenang, tenteram dan puas dengan kehidupan duniawi. Tidak perduli terhadap keadaan yang serba rusak, tenang tenteram berlebihan, sehingga hatinya tidak cemas melihat kerusakan, tidak terkejut melihat penyelewengan, tidak gelisah menyaksikan kemunkaran, dan seolah-olah tidak ada lagi yang perlu diperhatikan selain sandang-pangan”.

Padahal Rasûlullâh saw. telah menyebutkan kondisi orang yang keinginan hatinya hanya terpaut pada kesenangan dunia. Beliau saw. Bersabda :

“Barang-siapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya, maka Allâh akan membuat berantakan semua persoalan — hidupnya –, dan menjadikan kefaqiran (kekurangan) di depan kedua matanya. Dan dunia pun tidak akan datang kepadanya selain — sekedar — apa yang telah ditentukan baginya…..”.
(H.R. Ibnu Mâjah juz II hal. 1375 no. 4105)

Hadîts ini menyebutkan 3 (tiga) hal yang menjadi bagian bagi orang-orang yang cita-cita atau keinginan hatinya hanya terpaut pada kesenangan dunia :

a. Persoalan hidupnya akan berantakan tidak keruan, belum lagi selesai suatu persoalan, datang lagi persoalan yang lain. Dan begitu seterusnya sampai ia berpisah dengan dunia.
b. Kefaqiran, yaitu perasaan kekurangan akan selalu hadir di depan kedua matanya, yaitu ketika ia melihat segala macam benda yang belum dimilikinya. Dan hal ini akan membuatnya sangat konsumtif, tidak pernah bisa merasa puas.
c. Kebahagiaan atau kesenangan dunia tidak bisa dinikmati melainkan hanya sedikit, yaitu sekedar apa yang telah ditentukan Allâh baginya, maksudnya hidupnya terasa sempit meskipun ia memiliki berbagai-macam harta-benda.

Dalam hadîts yang lain Rasûlullâh saw. Bersabda :

“Celakalah budak dînâr, celakalah budak dirham, celakalah budak al-khamîshah (pakaian yang terbuat dari sutera dan bulu), celakalah budak al-khamîlah (pakaian yang terbuat dari beludru), jika diberi (sesuatu) ia merasa senang, tetapi jika tidak diberi, ia marah. Celakalah ia dan tersungkur, dan jika ia tertusuk duri, maka tidak bisa dicabut……”.
(H.R. Al-Bukhârî. Lihat Fathul-Majîd Syarah Kitabut-Tauhîd hal. 383 - 386)

Yang dimaksud budak dînâr dan budak dirham ialah orang yang hati dan perasaannya telah dikuasai oleh uang.

Adapun yang dimaksud dengan budak al-khamîshah (pakaian yang terbuat dari sutera dan bulu) dan budak al-khamîlah (pakaian yang terbuat dari beludru), ialah orang yang bekerja mati-matian untuk mendapatkan pakaian-pakaian mewah itu, karena ia sangat mementingkan penampilan lahiriyahnya serta ingin menarik perhatian dengan pakaian-pakaian tersebut.

Sifat orang-orang seperti ini, bila diberi (sesuatu) ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia marah. Artinya senang dan marahnya terhadap orang-lain, bergantung pada suatu pemberian, atau dengan kata-lain, kondisi emosinya sangat ditentukan materi. Inilah manusia-manusia yang materialistis.

Manusia-manusia semacam ini, bila tertusuk duri, ia tidak mampu mencabutnya. Artinya, ia tidak bisa melepaskan diri dari problem yang kecil sekalipun.

Asy-Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyyah (rahimahullâh) memberikan komentar yang sangat tegas ketika beliau menjelaskan hadîts ini. Beliau berkata :

“Seperti inilah kondisi jiwa budak harta, apabila diberi (sesuatu) ia bersuka-ria, dan jika tidak diberi ia murka. Dan apabila ia ditimpa suatu keburukan, ia tidak bisa keluar dari keburukan itu dan tidak akan selamat, karena ia celaka dan tersungkur. Oleh karena itu, ia tidak dapat mencapai apa yang ia cari dan tidak dapat lolos dari apa yang tidak disukainya”.

Seperti inilah kondisi kehidupan dan kejiwaan orang yang meremehkan kehidupan akhirat dan terobsesi dengan kehidupan dunia, hidup mereka terasa sesak dan sempit, sebagaimana firman Allâh :

“Siapa-saja yang berpaling dari peringatan-Ku. maka baginya penghidupan yang sempit”.
(Surah Thâhâ (20) : 124)

Penghidupan yang sempit dalam ayat ini menurut Ibnu ‘Abbâs r.a. ialah :

“Kesempitan di dunia, yaitu tidak ada ketenteraman dan tidak ada kelapangan di hatinya, bahkan hatinya terasa sempit, sesak karena kesesatannya. Meskipun lahiriyahnya ia hidup mewah, memakai pakaian yang ia inginkan, menyantap makanan yang ia inginkan dan tinggal di tempat yang ia inginkan. Akan tetapi, selama hatinya tidak memilih keimanan dan petunjuk (hidayah) — Allâh –, maka ia berada dalam kelabilan, kebingungan dan keraguan. Dan ia akan selalu berada dalam kebimbangan yang terus silih berganti. Dan inilah yang disebut penghidupan yang sempit”.
(Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz III hal. 168)

Al-Ustadz Sayyid Quthb (rahimahullâh) telah memberikan komentar yang baik sekali mengenai masalah ini, beliau berkata : “Kehidupan yang sempit ialah — kehidupan — yang putus hubungan dengan Allâh dan dengan rahmat-Nya yang luas, meskipun nampak enak dan menyenangkan, tetapi sebenarnya kehidupan itu sempit, terbenam ke dasar, tidak tersambung kepada Allâh dan tidak mendapatkan rasa aman dari perlindungan-Nya. Sempit, membuat bingung, labil dan bimbang. Terasa sesak karena perasaan loba dan kuatir; yaitu loba terhadap harta yang dimiliki dan kuatir akan lenyapnya. Rasa sempit yang berjalan di balik ketamakan dan penyesalan terhadap segala sesuatu yang lepas atau hilang. Sesungguhnya hati tidak akan dapat merasakan ketenteraman yang mantap melainkan di bawah lindungan Allâh, dan juga tidak bisa merasakan kesenangan yang hakiki melainkan jika ia berpegang teguh pada tali — Allâh — yang kuat, yang tidak akan terputus. Sesungguhnya ketenteraman yang dihasilkan oleh iman yang kuat akan membuat hidup menjadi lebih panjang, lapang, dalam dan luas. Sedangkan lenyapnya iman merupakan kemalangan yang tidak dapat dibandingkan dengan kemiskinan sekalipun”.
(Lihat Tafsîr Fî Zhilâlil-Qur-ân juz V hal. 503)



Berlombalah untuk Kehidupan Akhirat



Saat berbicara Romadhan ada dua ciri khas yang selalu nabi Muhammad saw gambarkan kepada kita yaitu perkara kehidupan akhirat dan perkara yang ghaib. Dalam sebuah hadits yang masyhur, rosulullloh mengatakan bahwa “Bilamana tiba malam pertama Romadhan, syetan (jin) dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga terbuka”. Pertanyaan lebih lanjut kenapa Romadhan selalu dikaitkan dengan perkara kehidupan akhirat dan ghaib?

Jawabannya Pertama, Romadhan telah diprogram oleh Alloh SWT bagi orang yang beriman untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Setelah sebelas bulan sebelumnya kebanyakan manusia lalai dan mengutamakan urusan fisik atau material semata. Romadhan dijadikan sarana agar manusia menjadi lebih bertaqwa. Dan salah satu ciri orang yang bertaqwa sesuai QS Al-Baqarah ayat 3 ialah mereka yang percaya kepada yang ghaib.

Salah satu perkaran yang ghaib adalah syetan. Syetan merupakan kata sifat dan terdiri dari kelompok Jin dan Manusia. Rosululloh menjamin saat bulan Ramadhan syetan dari golongan jin diikat, namun syetan dari kalangan manusia tidak ada jaminan. Sehingga kita bisa menyaksikan kenapa selama bulan Romadhan masih ada kemaksiatan. Salah satu alasannya karena masih ada orang yang terjerembab dalam jiwa dan kebiasaan yang buruk sehingga bisa dikatakan mereka adalah syetan manusia. Untuk itu, karena pelakunya adalah syetan manusia, maka berhati-hati memilih teman bergaul. Jangan sampai kita bergaul dengan syetan manusia, sehingga kita menjadi simpatisannya (loyalis).

Jawaban Kedua, Saat ini kita sedang menjalani potongan zaman yang penuh dengan fitnah, karena mayoritas dunia dipimpin oleh kaum kuffar. Mereka memiliki sifat dominan terhadap hal-hal materialistis atau keduniaan, sebagaimana digambarkan dalam QS Ar-rum ayat 7 ”Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”.

Ramadhan menjadi sarana untuk menyadarkan manusia agar cara pikirnya tidak didominasi oleh kehidupan dunia semata namun sebaliknya kehidupan akhirat. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, tidak ada satupun ayat al-Quran atau hadis yang menyuruh untuk berlomba dalam urusan dunia, sebaliknya memerintahkan berlomba untuk urusan Akhirat.

Kita perhatikan surat Al-Muthaffifin yang menceritakan tentang kenikmatan kehidupan akhirat dan penyesalan orang yang melupakannya, pada ayat 26 dikatakan “….dan untuk yang demikian itu hendaklah orang-orang berlomba-lomba”

Begitu pula dalam QS Al-Qasas 77 dan Al-Ankabut 64:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau kamu mengetahui

Untuk itu, mari kita jadikan romadhan kali ini untuk lebih meyakini akan kehidupan akhirat dan berlomba untuk menggapai kenikmatannya. Kita harus meyakini, bahwa satu-satunya alasan kita hidup didunia ini karena untuk menunaikan perintah Alloh semata, sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Quran “Tiadalah kami ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

(Dikutip dari ceramah Tarawih, Mesjid Darussalam Kota Wisata, 24 Agustus 2009, Narasumber Ust. Ihsan Tanjung Lc.)

MENGINGAT ALLAH DAN KEHIDUPAN AKHIRAT


Mengingat Allah

Tafakur Meditasi Islam Abah Didi mempunyai metoda/cara untuk mengingat Allah yang akan dirasakan dan tertanam seumur hidup dalam hati-sanubari, yaitu mengingat Allah dengan konsentrasi akal-pikiran pada kalimah “Subhanallah” yang berada dalam pernafasan. Yang merupakan intisari kehidupan.

Mengingat Allah bagi umat Islam yang beriman dan bertakwa, bukan kehendak manusia itu sendiri atau manusia lain tetapi perintah dari Allah Subhanahu Wa Taala sebagai Pencipta dan Pemilik seluruh umat manusia dan alam semesta.

Seperti yang Allah firmankan di dalam Al Qur’an :

  • Surah Qaaf, ayat 16:
    “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
  • Surah Al Ankabuut, ayat 45:
    “Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
  • Surah An Nisaa, ayat 103:
    “Ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.”
  • Surah Ar Ra’d, ayat 28:
    “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah – lah hati menjadi tenteram.”

Mengingat Kehidupan Akhirat

Manfaat dari Tafakur Meditasi Islam “Abah Didi” yang sangat penting adalah :

  • Mengingat Allah Subhanahu Wa Taala setiap hari walaupun 5 (lima) menit, dilakukan seumur hidup.
  • Yakin dan percaya bahwa kehidupan manusia yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia di dunia sudah seharusnya selalu mengingat akan kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat adalah tujuan hidup sebenarnya dan manfaatkanlah waktu yang sangat pendek dari kehidupan di dunia untuk mendapatkan keuntungan di akhirat.

Peringatan akan kebaikan dan keburukan hidup di dunia Allah Subhana Wa Taala sendiri yang menjelaskan dalam Al – Qur’an.

  • Firman Allah dalam surah Al Mu’minuun, ayat 112 – 114:
    “Allah bertanya: Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi ?”.
    “Mereka menjawab: Kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung”.
    “Allah berfirman: Kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui”.

Bila manusia tidak menggunakan kehidupan dunia untuk mencari status yang baik di akhirat maka jadilah kehidupan dunia ini bagi manusia tersebut sebagai main-main atau senda-gurau, atau dapat diumpamakan seperti permainan “Monopoli”.

  • Firman Allah dalam surah Al An’aam, ayat 32:
    “Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda-gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya!”
  • Firman Allah dalam surah Al Ankabuut, ayat 64:
    “Maka tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda-gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.

kehidupan kematian


Apa kematian itu? Apakah kematian adalah kehancuran, kemusnahan, dan non-eksistensi, ataukah suatu perubahan, perkembangan dan peralihan dari satu dunia ke dunia lain? Inilah pertanyaan yang selalu menarik perhatian manusia. Setiap orang ingin menemukan sendiri jawabannya atau menerima jawaban yang sudah ada. Karena kita ini Muslim, maka kita ingin memberikan jawaban untuk pertanyaan ini dari Al-Qur'an, dan kita percaya pada apa yang dikatakan Al-Qur'an dalam hal ini.

Al-Qur'an memiliki penjelasannya sendiri mengenai karakter hakiki kematian. Al-Qur'an menggunakan kata "tawaffâ dalam kaitan ini. Arti kata ini adalah menerima penuh. Empat belas ayat Al-Qur'an menggunakan ungkapan ini. Semua ayat ini menunjukkan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur'an, arti kematian adalah masuk ke dalam penjagaan. Dengan kata lain, ketika mati manusia memasuki penjagaan otoritas-otoritas ilahiah yang menerimanya tanpa batas. Dari ungkapan ini dapat disimpulkan beberapa poin:

(i) Arti kematian bukanlah kesirnaan dan kemusnahan. Kematian hanyalah peralihan dari satu dunia ke dunia lain, dan dari satu tahap kehidupan ke tahap kehidupan lain. Setelah kematian, kehidupan manusia berlanjut, meski bentuknya berbeda.

(ii) Yang membentuk manusia dan dirinya bukanlah tubuhnya serta sistem fisis dan penunjangnya, yang di dunia ini berangsur-angsur mengalami kerusakan dan kehancuran. Yang sesungguhnya membentuk personalitas dan ego manusia adalah apa yang oleh Al-Qur'an digambarkan sebagai "diri" dan terkadang "jiwa".

(iii)Jiwa atau diri manusia merupakan konstituen sejati personalitasnya. Manusia tidak mati, karena jiwa atau rohnya tidak mati. Rohnya eksis di sebuah cakrawala yang letaknya di atas cakrawala materi dan hal-hal material. Meskipun ini merupa­kan hasil dari evolusi esensi fenomena alam yang mengalami transformasi menjadi jiwa atau roh sebagai akibat dari evolusinya, namun cakrawalanya mengalami perubahan dan menjadi sesuatu dari alam lain yang di luar alam semesta. Ketika mati, roh beralih ke kelas lain, yaitu kelas roh. Dengan kata lain, realitas di luar materi ini kini berada dalam penjagaan malaikat. Al-Qur'an mengemukakan poin bahwa manusia adalah sebuah realitas yang kelasnya di luar materi. Mengenai Adam as, manusia pertama, Al-Qur'an mengatakan,
"Dan telah meniupkan ke dalamnya roh-Ku." (QS. al-Hijr: 29)

Soal roh dan kelangsungan hidupnya setelah mati merupakan salah satu ajaran pokok Islam. Separo dari ajaran-ajaran Islam yang tak dapat diingkari itu didasarkan pada doktrin bahwa roh tak bergantung pada tubuh, dan roh masih terus eksis meski manusia telah mati. Semua nilai manusiawi sejati didasarkan pada kebenaran ini. Tanpa kebenaran ini, nilai-nilai tersebut tak lebih dari imajinasi belaka.

Semua ayat yang berbicara tentang kehidupan setelah mati, beberapa contohnya akan kami kutip, membuktikan bahwa roh adalah sebuah realitas yang tak bergantung pada tubuh dan bahwa roh akan terus ada sekalipun tubuh sudah hancur dan sirna.

Sebagian orang mengira bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an tak ada roh atau jiwa. Akhir eksistensi manusia adalah ketika manusia mati. Setelah mati, manusia tak memiliki kesadaran dan juga tak merasa senang atau sakit. Pada saat Kebangkitan, manusia akan mendapat hidup baru, dan pada saat ini sajalah dia akan menemukan kembali dirinya dan dunia. Namun teori ini bertentangan dengan ayat-ayat yang menyebutkan kehidupan setelah mad.

Para pendukung teori ini mengira bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh atau jiwa mendasarkan klaimnya pada ayat, "Katdkanlah, roh adalah atas perintah Tuhanku." Mereka mengatakan bahwa meskipun kata "roh" disebut berulang-ulang dalam Al-Qur'an, namun makna roh adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang disebut jiwa. Dalam ayat ini juga arti roh sama dengan yang dimaksud dalam ayat-ayat lain. Orang-orang ini tidak tahu bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh tidak mendasarkan argumennya pada ayat ini. Ada sekitar dua puluh ayat lagi yang jelas-jelas menyebut roh atau menyebutnya dalam bentuk kata benda dan kata ganti yang mengungkapkan milik, rangkaian kata sifat dan seterusnya seperti roh Kami, roh-Ku, roh suci, roh dengan Perintah Kami. Mengenai manusia, dikatakan "Dan Aku tiupkan he dalamnya roh-Ku." Ungkapan ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an ada sebuah realitas yang lebih tinggi daripada malaikat dan manusia, dan realitas inilah yang disebut roh. Sebagai nikmat dari Allah SWT, malaikat dan manusia memiliki realitas ini yang digambarkan sebagai "dengan Perintah-Ku". Ayat "Aku tiupkan ke dalamnya roh-Ku," bersama ayat-ayat lain menunjukkan bahwa roh manusia memiliki realitas yang luar biasa.

Banyak ayat Al-Qur'an bukan saja menegaskan eksistensi mandiri roh manusia, namun pandangan ini juga diperkuat oleh banyak riwayat mutawatir dalam kitab-kitab hadis dan juga diperkuat oleh banyak kalimat dalam "Nahj al-Balaghah". (Lihat Peak of Eloquence (Nahj al-Balaghah atau Puncah Kefasihan, I. S. P. 1984) dan Doa Para Imam Suez)

Faktanya adalah bahwa pengingkaran eksistensi roh merupakan pikiran kotor Barat yang diilhami oleh materialisme Barat. Sayangnya, ada sebagian pengikut Al-Qur'an yang berpikiran seperti ini. Sekarang kami kutip, melalui contoh-contoh, tiga dari empat ayat yang menggunakan kata "tawaffi' untuk kematian. Dalam ayat-ayat ini dikatakan bahwa setelah kematiannya manusia masih melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang dilakukannya ketika masih hidup (seperti bicara, berkehendak dan memohon).

(i) Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya din, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu itu?" Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). " Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburu-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisâ': 97)

Sumber Iman kepada Kehidupan Akhirat



Sumber pokok iman kepada kehidupan abadi akhirat adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para nabi. Setelah mengakui Allah, beriman kepada kebenaran para nabi dan mengetahui dengan pasti bahwa apa yang disampaikan para nabi memang berasal dari Allah SWT dan karena itu benar, lalu manusia beriman kepada Hari Kebangkitan dan kehidupan abadi akhirat. Prinsip keyakinan religius ini digambarkan oleh para nabi sebagai ajaran terpenting setelah tauhid.

Dengan begitu, derajat iman seseorang kepada kehidupan akhirat tergantung, di satu pihak, pada derajat imannya kepada Kenabian dan kebenaran para nabi, dan di pihak lain, pada derajat kebenaran dan rasionalitas konsepsinya mengenai akhirat, dan keterbebasannya dari pikiran-pikiran kotor dan bodoh.

Selain wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh para nabi, ada beberapa metode lain untuk beriman kepada akhirat. Melalui upaya intelektual dan ilmiah, manusia dapat melihat, setidak-tidaknya, beberapa indikasi kuat yang mendukung apa yang dikatakan para nabi tentang akhirat. Metode-metode ini adalah:

(i) dengan jalan mengenal Allah SWT; (ii) dengan jalan mengenal dunia; (iii) dengan jalan mengenal roh dan mentalitas manusia. Untuk saat ini kami tak akan membahas metode-metode ini yang memerlukan deretan panjang argumen filosofis dan ilmiah. Kami hanya akan membahas metode Kenabian dan wahyu saja. Karena Al-Qur'an sendiri, dalam beberapa ayatnya, dengan jelas menyebutkan metode-metode ini, dan dalam beberapa ayat lainnya meng-isyaratkan ke arah metode-metode ini, maka kami akan membahasnya pada bagian selanjutnya di bawah judul Argumen Al-Qur'an tentang Akhirat. Agar soal kehidupan abadi akhirat bisa jelas dari sudut pandang Islam, maka perlu dilihat soal-soal berikut:

(i) Karakter hakiki kematian.

(ii) Kehidupan setelah mati.

(iii) Barzakh.

(iv) Kebangkitan.

(v) Hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan setelah kematian.

(vi) Eksistensi abadi amal perbuatan manusia dalam bentuk fisik.

(vii) Karakter umum dan khas kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

(viii) Argumen Al-Qur'an mengenai akhirat.

Karakter Hakiki Kematian