Jumat, 30 Oktober 2009

Dampak psikologis meremehkan kehidupan akhirat



Banyak di antara kaum Muslimîn dewasa ini yang beranggapan, bahwa berfikir tentang kehidupan akhirat serta cita-cita dan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkannya, sebagai suatu kemunduran di abad 21 ini. Bahkan banyak juga di antara mereka yang mengganggap remeh persoalan akhirat.

Sikap dan pandangan semacam ini timbul akibat kebodohan dan kepicikan mereka terhadap hakikat ajaran Islâm, dan juga kecintaan yang berlebihan terhadap keduniaan atau kebendaan (materi), sehingga cita-cita atau keinginan mereka hanya terpaut pada kehidupan atau kesenangan dunia semata, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh Abûl-Hasan An-Nadawî (rahimahullâh) :

“Penyakit terparah yang sedang diderita Dunia Islâm dewasa ini ialah merasa tenang, tenteram dan puas dengan kehidupan duniawi. Tidak perduli terhadap keadaan yang serba rusak, tenang tenteram berlebihan, sehingga hatinya tidak cemas melihat kerusakan, tidak terkejut melihat penyelewengan, tidak gelisah menyaksikan kemunkaran, dan seolah-olah tidak ada lagi yang perlu diperhatikan selain sandang-pangan”.

Padahal Rasûlullâh saw. telah menyebutkan kondisi orang yang keinginan hatinya hanya terpaut pada kesenangan dunia. Beliau saw. Bersabda :

“Barang-siapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya, maka Allâh akan membuat berantakan semua persoalan — hidupnya –, dan menjadikan kefaqiran (kekurangan) di depan kedua matanya. Dan dunia pun tidak akan datang kepadanya selain — sekedar — apa yang telah ditentukan baginya…..”.
(H.R. Ibnu Mâjah juz II hal. 1375 no. 4105)

Hadîts ini menyebutkan 3 (tiga) hal yang menjadi bagian bagi orang-orang yang cita-cita atau keinginan hatinya hanya terpaut pada kesenangan dunia :

a. Persoalan hidupnya akan berantakan tidak keruan, belum lagi selesai suatu persoalan, datang lagi persoalan yang lain. Dan begitu seterusnya sampai ia berpisah dengan dunia.
b. Kefaqiran, yaitu perasaan kekurangan akan selalu hadir di depan kedua matanya, yaitu ketika ia melihat segala macam benda yang belum dimilikinya. Dan hal ini akan membuatnya sangat konsumtif, tidak pernah bisa merasa puas.
c. Kebahagiaan atau kesenangan dunia tidak bisa dinikmati melainkan hanya sedikit, yaitu sekedar apa yang telah ditentukan Allâh baginya, maksudnya hidupnya terasa sempit meskipun ia memiliki berbagai-macam harta-benda.

Dalam hadîts yang lain Rasûlullâh saw. Bersabda :

“Celakalah budak dînâr, celakalah budak dirham, celakalah budak al-khamîshah (pakaian yang terbuat dari sutera dan bulu), celakalah budak al-khamîlah (pakaian yang terbuat dari beludru), jika diberi (sesuatu) ia merasa senang, tetapi jika tidak diberi, ia marah. Celakalah ia dan tersungkur, dan jika ia tertusuk duri, maka tidak bisa dicabut……”.
(H.R. Al-Bukhârî. Lihat Fathul-Majîd Syarah Kitabut-Tauhîd hal. 383 - 386)

Yang dimaksud budak dînâr dan budak dirham ialah orang yang hati dan perasaannya telah dikuasai oleh uang.

Adapun yang dimaksud dengan budak al-khamîshah (pakaian yang terbuat dari sutera dan bulu) dan budak al-khamîlah (pakaian yang terbuat dari beludru), ialah orang yang bekerja mati-matian untuk mendapatkan pakaian-pakaian mewah itu, karena ia sangat mementingkan penampilan lahiriyahnya serta ingin menarik perhatian dengan pakaian-pakaian tersebut.

Sifat orang-orang seperti ini, bila diberi (sesuatu) ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia marah. Artinya senang dan marahnya terhadap orang-lain, bergantung pada suatu pemberian, atau dengan kata-lain, kondisi emosinya sangat ditentukan materi. Inilah manusia-manusia yang materialistis.

Manusia-manusia semacam ini, bila tertusuk duri, ia tidak mampu mencabutnya. Artinya, ia tidak bisa melepaskan diri dari problem yang kecil sekalipun.

Asy-Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyyah (rahimahullâh) memberikan komentar yang sangat tegas ketika beliau menjelaskan hadîts ini. Beliau berkata :

“Seperti inilah kondisi jiwa budak harta, apabila diberi (sesuatu) ia bersuka-ria, dan jika tidak diberi ia murka. Dan apabila ia ditimpa suatu keburukan, ia tidak bisa keluar dari keburukan itu dan tidak akan selamat, karena ia celaka dan tersungkur. Oleh karena itu, ia tidak dapat mencapai apa yang ia cari dan tidak dapat lolos dari apa yang tidak disukainya”.

Seperti inilah kondisi kehidupan dan kejiwaan orang yang meremehkan kehidupan akhirat dan terobsesi dengan kehidupan dunia, hidup mereka terasa sesak dan sempit, sebagaimana firman Allâh :

“Siapa-saja yang berpaling dari peringatan-Ku. maka baginya penghidupan yang sempit”.
(Surah Thâhâ (20) : 124)

Penghidupan yang sempit dalam ayat ini menurut Ibnu ‘Abbâs r.a. ialah :

“Kesempitan di dunia, yaitu tidak ada ketenteraman dan tidak ada kelapangan di hatinya, bahkan hatinya terasa sempit, sesak karena kesesatannya. Meskipun lahiriyahnya ia hidup mewah, memakai pakaian yang ia inginkan, menyantap makanan yang ia inginkan dan tinggal di tempat yang ia inginkan. Akan tetapi, selama hatinya tidak memilih keimanan dan petunjuk (hidayah) — Allâh –, maka ia berada dalam kelabilan, kebingungan dan keraguan. Dan ia akan selalu berada dalam kebimbangan yang terus silih berganti. Dan inilah yang disebut penghidupan yang sempit”.
(Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz III hal. 168)

Al-Ustadz Sayyid Quthb (rahimahullâh) telah memberikan komentar yang baik sekali mengenai masalah ini, beliau berkata : “Kehidupan yang sempit ialah — kehidupan — yang putus hubungan dengan Allâh dan dengan rahmat-Nya yang luas, meskipun nampak enak dan menyenangkan, tetapi sebenarnya kehidupan itu sempit, terbenam ke dasar, tidak tersambung kepada Allâh dan tidak mendapatkan rasa aman dari perlindungan-Nya. Sempit, membuat bingung, labil dan bimbang. Terasa sesak karena perasaan loba dan kuatir; yaitu loba terhadap harta yang dimiliki dan kuatir akan lenyapnya. Rasa sempit yang berjalan di balik ketamakan dan penyesalan terhadap segala sesuatu yang lepas atau hilang. Sesungguhnya hati tidak akan dapat merasakan ketenteraman yang mantap melainkan di bawah lindungan Allâh, dan juga tidak bisa merasakan kesenangan yang hakiki melainkan jika ia berpegang teguh pada tali — Allâh — yang kuat, yang tidak akan terputus. Sesungguhnya ketenteraman yang dihasilkan oleh iman yang kuat akan membuat hidup menjadi lebih panjang, lapang, dalam dan luas. Sedangkan lenyapnya iman merupakan kemalangan yang tidak dapat dibandingkan dengan kemiskinan sekalipun”.
(Lihat Tafsîr Fî Zhilâlil-Qur-ân juz V hal. 503)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar